Tuesday, July 10, 2007

CiNtA daLaM PeRgErAkaN

“Seperti ketika kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak” (Anis Matta, 2005)

Gue lupa dalam konteks apa Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut di atas. Dan gue juga lupa dalam konteks apa gue mencomot kutipan tersebut. Yang gue inget Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut dalam 'serial cinta' yang beliau tulis setiap minggu di majalah Tarbawi. Dan saat itu – bahkan mungkin sampai saat ini – gue adalah pengagum 'serial cinta'.

Dari 'serial cinta' lah gue belajar banyak tentang cinta. Bukan melulu cinta dari aspek psikologis seperti yang kerap ditulis oleh Ibnul Qayyim – walaupun sampai saat ini gue gak menemukan kajian cinta yang paling komphrehensif dan paling menarik selain yang ditulis Ibnul Qayyim – tapi cinta dalam konteks gerakan yang dibungkus dengan realita kehidupan.

Cinta ternyata dibutuhkan untuk membangun sebuah gerakan. Dan sebuah gerakan – yang terjadi karena adanya kesadaran bahwa realita kehidupan saat ini tidak ideal – tidak akan terjadi tanpa ada cinta dibaliknya. Terkesan seperti perluasan definisi memang, tapi begitulah realitanya.

Gerakan dakwah contohnya, terjadi karena adanya sesuatu yang tidak ideal dalam realita kehidupan, entah itu kemaksiatan yang masih merajalela, penyimpangan dalam agama, sampai pada keadaan bahwa kalimat Allah belum menjadi kalimat tertinggi. Dan gerakan dakwah tidak akan terjadi tanpa adanya kekuatan yang berada dibalik itu semua, yaitu kekuatan cinta kepada Allah, Rasulullah, dan berjihad di jalanNya.

Demikian juga dengan gerakan neo-Marxisme – atau gerakan serupa dengan basis mazhab Frankfurt. Gerakan ini terjadi karena realita dunia saat ini masih jauh dengan realita dunia yang mereka cita-citakan. Dunia yang masih timpang dalam hal distribusi kekayaan, masih adanya kelas-kelas sosial bahkan sampai pada tingkatan negara, dan kebijakan global yang lebih sering merugikan negara dunia ketiga, merupakan hal yang jauh dari cita-cita ideal mereka tentang tatanan dunia. Dan kecintaan mereka terhadap idealisme ini merupakan suplemen utama dalam pergerakan mereka di seluruh dunia.

Kapitalisme, Neo-Liberalisme, Postmodernisme, dan gerakan lainnya di duniapun memiliki pola yang sama, yaitu realita kehidupan yang tidak ideal, serta cinta yang menjadi motor penggerak itu semua. Lalu apakah yang membedakan itu semua?

Seperti sebuah pedang bermata dua, cinta juga tergantung pada orang dibaliknya, paradigma yang menggerakannya, dan cita-cita yang ditujunya. Jika cinta menjadi motor penggerak bagi orang-orang kafir, dengan paradigma kekafiran, dan tujuan hanya untuk dunia, maka sudah pasti pedang cinta tadi akan merusak tatanan dunia yang ada. Tapi jika cinta menjadi motor penggerak bagi para aktivis dakwah, dengan paradigma keimanan, dan tujuannya hanya Allah semata, maka sudah pasti cintanya akan senantiasa menjadi cahaya yang akan menerangi dunia yang semakin kelam ini.

CinTa aNugeRah

Cinta adalah anugerah, sebuah sunatullah yang patut disyukuri. Karena cinta adalah salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya, walaupun bukan semata-mata diciptakan untuk kita. Tapi cinta yang kita miliki istimewa, berada diantara dua kutub, cinta Malaikat dan iblis.

Malaikat memiliki cinta. Cinta buta yang semata-mata ditujukan kepada penciptaNya. Tiap amal dan perbuatan mereka digerakkan oleh rasa cinta ini. Bahkan mereka tak bisa bergerak diluar koridor cinta mereka, yang seluruhnya Ditetapkan Oleh Yang Maha Pecinta.

Dilain pihak, iblis juga memiliki cinta. Cinta kepada Allah yang diimplementasikan dalam cinta yang berlebihan kepada dirinya sendiri. Dan cinta berlebihan kepada diri sendiri inilah yang akhirnya menjerumuskannya dalam kehinaan yang teramat sangat, mendurhakai perintah Allah dan mengemukakan argumentasi didepan Yang Maha Mengetahui.

Karena itu cinta manusia istimewa. Sebuah cinta potensial yang bisa mengambil jalan apa saja. Bisa diarahkan kepada cinta mulia para malaikat, dan bisa mengambil jalan cinta hina iblis. Istimewa, karena pilihan ada di tangan kita.

CiNtA aLaM

Satu hal yang tertinggal dari masa lalu gue adalah kecintaan dan kerinduan gue pada alam. Entah kenapa? Dan entah bagaimana?

Mungkin itu adalah sebuah fitrah manusia yang mencintai sesama makhluk Tuhan. Sebagaimana gue mencintai manusia lain, gue juga mencintai alam, dan bahkan terkadang rindu untuk bercengkerama dengannya. Rindu untuk merasakan dinginnya alam yang memberikan kehangatan tersendiri. Rindu untuk merasakan gelapnya malam yang memberikan nuansa tersendiri. Rindu akan cahaya bulan, gemerlap bintang, tetesan air embun dan hujan, kicauan burung dan suara binatang, serta nafas yang tersengal dalam perjalanan menapaki udara bersih yang bebas polutan.

Kerinduan gue memang bukan tanpa alasan. Bukan kerinduan semu seorang putri yang mengharapkan pangeran impian. Bukan juga kerinduan pungguk merindukan bulan. Tapi kerinduan pada teman lama yang beberapa waktu ini tidak berjumpa. Karena gue kenal dengan alam. Gue sering berinteraksi dengan alam. Dan gue jatuh cinta pada alam.

Cinta itu masih ada. Rindu itu masih menggebu. Bahkan ketika seluruh tatanan hidup gue berubah, cinta dan rindu masih bersatu untuk senantiasa memanggil gue kembali ke pangkuan alam. Ibarat karang yang tertinggal dalam gelombang revolusi, kecintaan dan kerinduan gue pada alam justru menemukan bentuk baru yang sesuai dengan habitatnya kini.

Entah ini fitrah. Ataukah akibat ukhuwah yang terlalu lekat, sehingga alam tetap bertahan dalam semesta cinta gue yang terus menerus mengalami perubahan.

Saturday, June 16, 2007

MAKNa RelaTIF

Makna adalah sesuatu yang mutlak (relatif) ada dalam hidup ini. Pulpen adalah konsep makna. Buku adalah konsep makna. Tulisan adalah konsep makna. Pemikiran adalah konsep makna. Kesadaran adalah konsep makna. Tuhan adalah konsep makna. Dan lain sebagainya adalah juga konsep makna.
Tapi sebuah pulpen punya makna yang berbeda bagi seorang mahasiswa dan seorang direktur pemasaran. Sebuah pulpen punya makna yang berbeda bagi mahasiswa fakultas sastra dan mahasiswa fakultas desain grafis. Intinya, makna itu relatif, terikat pada konteks baik ruang, waktu, kesadaran, kondisi, dan sebagainya.
Tapi sebagaimana bahasa, yang merupakan konsep makna yang paling sering kita gunakan (mungkin...?), makna secara umum juga merupakan sistem kesepakatan, baik antara 2 atau lebih individu, kelompok masyarakat, bangsa, maupun peradaban. Contohnya pulpen tadi, ada kesepakatan antara mahasiswa fakultas sastra, mahasiswa fakultas desain grafis, dan direktur pemasaran bahwa itu adalah alat tulis. Pulpen adalah alat tulis, entah itu sebagai medium untuk menyalurkan rasa, entah itu sebagai objek prakarya, maupun sebagai sebuah produk yang entah bagaimana harus dimiliki oleh konsumen dengan rasa bangga. Dengan kata lain, baik itu untuk mengarang, mendesain, dan menjual, adalah pulpen dengan maksa sebagai alat tulis tadi.
Tapi bagaimanapun ini hanyalah sebuah kesepakatan. Bagaimanapun umumnya, bagaimanapun luasnya, dan bagaimanapun universalnya, mungkin suatu saat pulpen hanya bermakna sebagai sebuah token sejarah dalam masyarakat primitif, bagi peradaban manusia 1000 tahun nanti.
Depok 2 Desember 2004